Rabu, 13 April 2011

CINCONG-CINCONG DALAM GERIMIS





CINCONG2
DALAM GERIMIS
Jacob Marala

RENCANA  AKAN  DIPENTASKAN  PADA  ULANG  TAHUN  DKM  KE 42 - JUNI 2011

Pemain :
                                                                                             
Palingge
Borra
Dumba                                                            
Kamase (Pemilik Warung)
Adik peremp. Palingge
Ipar


SEBUAH PERKAMPUNGAN DI KAKI BUKIT
ADA POS RONDA. JUGA TERDAPAT WARUNG KOPI SEDERHANA.
DI ANTARA BANGUNAN TERDAPAT SEBUAH MEJA AGAK PANJANG, DUA BUAH BANGKU DAN SATU BUAH KURSI MENGHADAP PENONTON.
CUACA DINGIN DAN GERIMIS TURUN AGAK DERAS

BORRA, YANG SEDARI TADI DUDUK DISALAH SATU BANGKU, BERTEDUH DIBAWA PAYUNG KUMAL, ASIK MEMBACA KORAN SAMBIL MENIKMATI  SEGELAS KOPI HITAM DENGAN ROKOK BERASAP DI JARI TANGAN KANANNYA,  SEKALI-SEKALI BORRA TAMPAK GELISAH MEMPERBAIKI DUDUKNYA, DISEBABKAN OLEH BISUL YANG MEMBENGKAK DI PANTAT. BORRA’ MENENGOK KIRI DAN KANAN MENUNGGU  KALAU-KALAU ADA TEMAN RONDA  ATAU KENALAN YANG BAKAL LEWAT.
MAKLUM KANTONG LAGI KEMPES PADAHAL KOPI YANG TINGGAL SEPARUH GELAS, MESTI DI BAYAR SEBELUM MENINGGALKAN TEMPAT.


ADEGAN I


BORRA :
(MEMPERHATIKAN  JAM TANGANNYA)  Payah. Sudah tiga jam belum juga ada tanda-tanda….. Kemana mereka. (MENENANGKAN DIRI, KEMBALI MEMBACA DAN MEMBOLAK BALIK KORAN……………………………….)

DUMBA :
(JALAN TERPINCANG-PINCANG MEMAKAI MANTEL PLASTIK TUA. SEBELUM DUDUK, IA MINTA KOPI SATU GELAS KEPADA PEMILIK WARUNG) Satu gelas !

BORRA :
(……BERHENTI MEMBACA, SEJENAK MENGAMATI ORANG YANG SEMENTARA BERDIRI DI DEPANNYA) Sepertinya saya kenal saudara.


DUMBA’  :
Mungkin. Yang jelas saya adalah penduduk asli, Bangkeng Bulu’

BORRA’
Dumba’ !

(SALING BERANGKULAN PENUH RASA RIANG CAMPUR HARU)

DUMBA’ :   
Borra’ ?. . . . (SALING BERANGKULAN PENUH RASA RIANG CAMPUR HARU) Akhirnya kita ketemu kembali sahabat.

BORRA’ :
Ternyata kau masih hidup

DUMBA :
Ya, tentu. Sebab kalau diantara kita sudah ada yang mati, pasti tidak ada lagi pertemuan.  (KEDUANYA TERTAWA HABIS SAMBIL DUDUK. MASING-MASING MENENANGKAN PERASAANNYA……MEMPERHATIKAN KESEKELILING…)
Rasa-rasanya kampong kita masih seperti dulu.

BORRA :
Itulah bukti kalau diantara kita berdua tak ada dusta. Bukankah kau sendiri pernah berjanji dalam surat, akan pulang asal bangkeng bulu masih tetap perawan.

DUMBA’ :
Pepatah mengatakan, Dusta itu, mengekor sampai keliang kubur.

RORRA’ :
 Lihat,  bukit yang bernama Bangkeng Bulu’ masih tetap ditempat, tidak kemana-mana.

DUMBA’ :
Itu karena ia tidak punya kaki.

BORRA’ :
Ia, ya ?
Kau masih ingat ? Ketika kita masih kecil di tempat inilah kau selalu menikmati Tedong Pallubasana, Deng Rowa.

DUMBA :
 Dan kalau tidak salah di seberang sana, kau sendiri tidak pernah tidak, setiap pagi manikmati songkolo’ le’lenna Deng Ngai. (KRDUANYA TERTAWA, BORRA MENUTUP MUKANYA DENGAN KORAN) Aku tahu kalau kau menutup mukamu.
(UCAP BERSAMA) Karena kau dan aku selalu dikejar-kejar hutang  (TAWA GELIPUN TERDENGAR KEMBALI)

KAMASE :
(DATANG MEMBAWA DAN MELETAKKAN SEGELAS KOPI DI ATAS MEJA)

DUMBA :
 (KEPADA PELAYAN) Dan kau pasti cucunya daeng Rowa ?.

KAMASE :
Bukan Om. Saya adalah anaknya almarhum, Bos Tulang (KEMBALI KE WARUNGNYA)

BORRA :
Ya, satu-satunya darah daging almarhum pak Tulang yang selamat.

DUMBA :
Maksudmu ?

BORRA :
Pak Tulang telah tewas beberapa tahun lalu

DUMBA :
Tewas ?  Memangnya pernah terjadi perang ?

BORRA :
 Pak Tulang, yang menegakkan Siri’, telah mencincang lelaki yang membawa lari anak gadisnya, ya, kakak si pemuda itu lah.

DUMBA :
Yah, seharusnya memang begitu. Tindakan pak Tulang saya sokong.

BORRA :
Tetapi ujung-ujungnya menimbulkan banjir darah. Mereka saling bunuh-membunuh, yang sebenarnya tidak perlu terjadi.

DUMBA :
Kenapa mesti saling membunuh ?  Bukankah pak Tulang dipihak yang benar ?

BORRA :
Begitula kalau malapetaka mau terjadi, pak Tulang yang diliputi rasa dendam boleh dibilang menyalahi aturan main.

DUMBA :
Begitukah ?...... Terus ?


BORRA :
  Sebagai “Tumasiri” tidak mesti mengejar dan menikam lelaki “Tumanynyala” yang sudah melemparkan songkoknya menyeberang pagar. Apalagi lelaki itu sudah berlindung disebuah rumah tetangga, yang ternyata keluarganya malah.

DUMBA :
Oh…….Lantas ?

BORRA :
Apa mau dikata, seluruh keluarga lelaki tumanynyala itu, balik tersinggung merasa harga diri mereka diinjak-injak. Merasa nipakasiri’. Akhirnya antara keluarga dengan keluarga saling tikam menikam. Cincang mencincang. Habis kedua belah pihak kecuali si pemuda pemilik warung itu.  

DUMBA’ :
Kasihan pak Tulang.

BORRA :
Apa boleh buat.

DUMBA’ :
 Ketika kejadian itu berlangsung saudara Borra’, dimana ?

BORRA’ :
Saya menyaksikan langsung peristiwa itu dan
tatkala mayat-mayat bergelimpangan disana-sini, saya lari bersembunyi, bukan karena takut, tetapi karena saya tiba-tiba teringat saudaraku yang bernama Dumba’

DUMBA’ :
Apa hubungannya ?

BORRA’ :

Soalnya ada berita yang pernah saya baca dikoran kalau seorang pemuda rantau bernama Dumba, dimutilasi  menjadi 12 potong..

DUMBA :
Agrh..kau ini. Kamu salah baca saudara. Bukan Dumba tapi Dungga, dari India, pemuda keturunan Kolokatta, berkewarganegaraan Tambi.

BORRA’
Tapi bagaimanapun juga, kau dan aku harun bersyukur, sebeb kalau dugaanku itu           benar maka kita berdua tidak mungkin ketemu lagi. Iya tokh ?…(KEDUANYA TERTAWA. DUMBA MENGANGKAT TANGANNYA TANDA SETUJU, DAN SALAM CES PUN BERLANGSUG)

Ngomong-omong sejak kapan kau balik menginjakkan kaki di Bangkeng Bulu ini ?

DUMBA’ :
Sejak aku merindukan kampung halamanku.
Oh ya Bagaimana dengan tetua kita yang lain ?

BORRA :
Daeng Rowa, si penjual Pallubasa, Daeng Ngai, si penjual Songkolo’,Daeng Pajja, si penjual Putu Mayang, Tetta Baco, si penjual bassang, Puang Bantong si penjual Ballo, Tuan Abu, sipenjual Salem, Mister Lantoro yang sakti, semuanya sudah lama K.O.
(SUASANA JEDAH SEJENAK)

DUMBA :
Kalau diingat-ingat, diantara mereka ada saja yang begitu besar jasanya kapada kita.

BORRA :
 Betul. Terutama bila kita tertimpa musibah

DUMBA :
 Ya, seperti aku sekarang ini. Andai kata Mister Lantoro masih hidup, kakiku yang keseleo ini tidak perlu berhubungan dengan Medis (SAMBIL MEMPERLIHATKAN KAKINYA DI ATAS MENJA YANG DIBALUT DENGAN PERBAN)  Yang begini kan tidak masuk akal toch ?

BORRA :
O..memang salah. Keseleo tidak perlu diperban. Ini harus di urut (MEMEGANG LALU MENGURUT  KAKI YANG KESELEO  SEKETIKA ITU PULA DUMBA MENJERIT LANTANG  SETINGGI LANGIT )  Sebenarnya kakimu ini tidak apa-apa, cuma perasaanmu saja yang sakit.

DUMBA :
(BELINSATAN SAMBIL MERAJUK) Kau masih seperti dulu senang menyakiti orang. Seumur-umur saya belum pernah merasakan kenyerian seperti ini. Sungguh, kalau saja kau tidak kuanggap saudaraku, akan kuajak kau berkelahi habis-habisan.

BORRA :
Demi kebaikanmu saudaraku (KEMBALI MENGURUT KENCANG KAKI DUMBA, TERAKAN PUN MELANGIT)

DUMBA :
(TERBIRIT MENINGGALKAN TEMPAT UNTUK MENGUSIR RASA SAKITNYA)  Akan pukul kau sampai gepeng seperti pisang peppe.

BORRA :
 (MERANGKUL SAHABATNYA) Alaaaah kau ini sudah setua begini masih cengeng. Percaya tidak ?  Kau masih sangat beruntung. tidak seperti aku. (MEMPERLIHATKAN BISUL DI BAHAGIAN PANTATNYA) He. Lihat, bisulku ini, sudah seminggu lamanya belum sembuh-sembuh juga. Tapi sayakan tidak cengeng (TIBA-TIBA DUMBA MENAMPAR BISULNYA.) Adaooww Mengapa ditampar ? (KARENA SAKITNYA IA BLINGSATAN………..)

DUMBA :
Biar cepat sembuh, dongo’ !!

BORRA :
Ia, tapi jangan ditampar. Kalau mau menampar, ini pipiku, pilih yang kanan atau kiri. Tampar. Aduuuuh…...

DUMBA :
Alaah… masih seperti anak kecil empat puluh tahun silam

BORRA :
Ini bukan kecengengan tapi… tapi  sakitnya sakit ini…… sungguh saya takdapat  melukiskannya dengan kata-kata.

DUMBA :
Ahgrrr… sudahlah, lupakan bisulmu itu seperti aku melupakan sakitnya kaki yang keseleo ini. (MELIHAT JAM) sekarang sudah hampir pukul sebelas. Demi keamanan, kita perlu jalan memeriksa kampung ini, siapa tahu orang jahat sudah membongkar rumah warga.

BORRA :
Tunggu dulu teman kita yang lain.

DUMBA :
Siapa-siapa sajakah ?

BORRA :
Deng Burejje’, dan Sampara’ Nillong.

DUMBA :
Allah. Tidak perlu.  Meraka pasti sudah ngorok.


BORRA DAB DUMBA’ TIBA-TIBA  MELIHAT BAYANGAN YANG MENCURIGAKAN…………..)

ADEGAN 2


BORRA :
Siapa ?!

PALINGGE :
Saya.

DUMBA :
Saya siapa ?

PALINGGE :
(MENGELUARKAN KOTAK ROKOK DARI SAKUNYA) Apa saudara punya geretan

BORRA :
Kalau iya, kenapa ?!

PALINGGE :
( MENGAMBIL SEBATANG ROKOK ) Dari tadi saya mau merokok tetapi geretan saya hilang diperjalanan. (DAN BATANG ROKOK ITUPUN LANGSUNG MENEMPATI POSISINYA DIKEDUA BIBIR MERAH KEUNGU-UNGUAN)

BORRA :
(MENYALAKAN GERETANNYA PERSIS DIUJUNG ROKOK YANG SEDANG TERTANCAP DIBIBIR) Sepertinya saudara kedinginan ?

PALINGGE :
Ia. Betul. Terima kasih.

DUMBA :
Saudara ini dari mana ?

PALINGGE :
Saya dari kampung sebelah. Sebelahnya sebelah. Oh ya, kenalkan : Palingge.

BORRA :
Nama saya Borra

DUMBA :
Dumba.

LAPALINGGE :
Dingin ini memaksa saya mencari teman
(KETIGANYA BERJALAN MENUJU TEMPAT DUDUK. MEROGO KANTONG MANTEL BLUDRUNYA DAN MENGELUARKAN BOTOL MINUMAN ALKOHOL LALU DUDUK DIANTARA BORRA DAN DUMBA. MENENGGAK BEBERAPA KALI MINUMANNYA)
Demi persaudaraan, silahkan (KEPADA DUMBA DAN BORRA)

DUMBA :
Kami berdua tidak lagi tertarik dengan minuman keras

PALINGGE :
Hah…..hah…hah…. Minuman ini samasekali tidak keras. Lembut, sangat lembut (MENENGGAK LAGI DAN LAGI) Hm…………. Ayolah kawan, enak, bikin hangat badan.

BORRA :
Maaf  saya sudah lama insyaf.

PALINGGE :
Insyaf  ?  Saudara pernah berlumuran dosa ?

BORRA :
Berlumuran dosa ?  saya kira tidak, karena seingat saya tidak pernah berkubang disitu.

PALINGGE :
Dilihat dari potongan, saudara memang bisa masuk sorga.

BORRA :
Dumba’. kata-kata seperti itu baru saya dengar. Bagus.

PALINGGE :
Yah.. karena kita baru ketemu bukan ?  Kalau saudara ? (KEPADA DUMBA) Sudah lama juga insaf ?

DUMBA :
Rasanya saya susah untuk menjawab, karena batas antara baik dan buruk boleh dibilang tidak berjarak.

PALINGGE :
Hm…Saudara cocok menjadi seorang Ustas, yang suka mengeluarkan Fatwah. Yah…. Justru paling gampang masuk sorga.

DUMBA :
Kanapa saudara bisa tahu ?  Apa saudara seorang ahli nujum ?

PALINGGE :
Bukan. Tetapi mendengar budi bahasa saudara berdua, pirasatku mengatakan kalau saudara-saudara adalah orang baik. Orang baik itu pasti masuk sorga. Apa lagi kalau
 Saudara-saudara meyakini diri sebagai orang yang benar. Uhgr…. Langsung !

DUMBA :
Maaf. Apakah saudara tahu kalau seseorang akan di tangkap kalau kedapatan minum minuman keras ?

PALINGGE :
Di tangkap ?  Hah…hah… hanya orang yang bersalah yang bisa ditangkap bahkan kalau perlu ia dibunuh !. Tapi saya-kan tidak bersalah. Jadi siapa yang mau menangkap saya ?

DUMBA :
Semua orang tahu kalau Negara kita ini punya aturan, punya undang-undang.

PALINGGE :
(SINIS) Semakin banyak larangan,  rakyat semakin menderita. Semakin banyak undang-undang atau semacamnya, semakin merajalela pencurian dan perampokan.

BORRA :
Hati-hatilah kalau berbicara.

PALINGGE :
Kenyataan tidak dapat dibohongi. Dan saya yakin saudara-saudara sendiri dapat merasakannya, bahkan saudara sudah mengalaminya.


DUMBA :
Sesungguhnya orang ini sudah mabuk, hanya ia tidak menyadarinya

BORRA :
Dan  yang pasti, Polisi akan menangkap siapapun yang kedapatan minum minuman keras.

PALINGGE :
(MULAI MABUK) Tidak !  tidak ada  penangkapan  malam ini.    

DUMBA :
Mengapa tidak ?!

PALINGGE :
(DENGAN SINIS) Ya, karena yang ada cuma dua orang ronda bukan ? Borra dan Dumba’, lagi pula  aku tidak pernah mabuk karena minuman. Tetapi karena mereka telah merampas dan merusak sebahagian jiwaku, sehingga aku jadi begini.

BORRA :
Mereka, siapa ?

PALINGGE :
Jangan munafik, nanti tidak masuk sorga.

DUMBA :
Kami tidak mengerti maksud saudara.


PALINGGE :
Ketika nenek moyang kita berada dipuncak kejayaannya, rakyatnya bagaikan hidup didalam Firdaus. Tepi setelah penjajah muncul dan lahir di negeri ini, Firdaus ditelan habis oleh mereka. Penjajah-penjajah itu meruntuhkan semua benteng-benteng kejayaan. Mereka merampas seluruh isi firdaus dan rakyat yang masih bertahan hidup penuh dengan penderitaan. Disamping menderita karena dirampas kemerdekaannya, juga karena hak-nya dirampok secara berjamaah. Dan akibatnya Orang menjadi nekat untuk berbuat apa saja.  Untuk melupakan semua itu, …  (MENENGGAK MINUMAN) Ini, jalan terbaik. Sebuah jalan keluar untuk melupakan segala sesuatu yang menyakitkan hati. (TAMPAK OLENG)

BORRA :
Haruskah seperti itu ?

PALINGGE :
Mau bagaimana lagi ? Mau berkoar-koar menuntut Keadilan ? Jangan coba-coba, kalian bakal ditangkap dan musnahlah harapanmu masuk sorga ha ha ha……

DUMBA :
(KEPADA BORRA’) Bicaranya sudah ngelantur

PALINGGE :
Kukatakan terus terang. Aku adalah mantan narapidana kelas bulu, karena memukul seorang teman yang kurang ajar sampai berdarah-darah. Orang itu kebetulan keluarga polisi, yang katanya penegak keadilan. Tapia apa yang terjadi ?  Di dalam sel justeru perkara saya direkayasa.

BORRA :
Maksud saudara ?

PALINGGE :
Yang benar menjadi salah. Yang salah menjadi benar.

DUMBA :
Lalu begaimana nasib saudara ?

PALINGGE :
Saya keluar sel setelah menyogok petugas atas nama penangguhan. Dengan catatan perkara jalan terus. Lanjut kepengadilan.

BORRA’ :
Mustinya saudara sudah bebas setelah menyogok petugas.

PALINGGE :
(KETAWA) Seorang yang menjalani proses hukum, pastikan statusnya disaat itu bukan lagi sebagai manusia. Ia bukan lagi subyek tetapi berubah menjadi obyek.

BORRA’ + DUMBA’
Memuakkan. Sungguh-sungguh memuakka

PALINGGE MUNTAH LANTARAN MABUKNYA ?
Aku muntah bukan karena mabuk tapi memang karena aku muak !

KAMASE :
DATANG MENYODORKAN AIR MINUM, DALAM  MOK.
Air, adalah minuman yang tak pernah membosankan.

PALINGGE :
Siapa namamu anak muda ?

KAMASE :
Nama saya, Kamase. (KEMBALI KE WARUNGNYA)

                                                                BORRA :
(MENDEKATI PALINGGE) Saudara Palingge, kami mau ronda dulu siapa tahu disekitar kampung ini, sudah kedatangan tamu yang tidak diundang.

P0ALINGGE :
Saya tersinggung, saya adalah tamu yang tidak diundang

DUMBA :
Maaf, maksud kami siapa tahu kalau-kalau sudah ada pencuri berkeliaran disekitar kampung ini. Permisi...

PALINGGE :
Kejahatan terjadi bukan hanya karena niat pelakunya, tapi juga karena menghilangnya Firdaus disetiap hati manusia. Waspadalah ! waspadalah !  Ha…ha….ha.
(SEASANA HENING)



ADEGAN 3



KAMASE :
(MENYODORKAN PELINDUNG KEPALA ATAU SARAUNG)
Udara tengah malam begini tidak baik bagi kesehatan, Daeng.

PALINGGE :
Duduklah, temani aku disini.

KAMASE :
Bisa, tapi jangan lama, Daeng

PALINGGE :
 Saya ada disini untuk satu tujuan (MENGELUARKAN BADIK LALU
MEMPERLIHATKAN GERAKAN MENGGOROK LEHER)

PELAYAN BISU :
Waduh. Maaf daeng. Saya tidak mau ikut campur.

PALINGGE :
Kalau begitu jawab pertanyaanku. Apa ada orang baru di kampong ini ?

KAMASE :
Saya kira yang paling tahu, adala kedua orang ronda itu, Daeng. Daeng Borra dan Daeng Dumba’

PALINGGE :
Terima asih…. (MENGELUARKA BANYAK UANG DARI SAKUNYA) Ini untuk harga dua gelas kopi, dan lebihnya buat tambah modal usahamu

KAMASE :
Terima Kasih. Daeng (MENINGGALKAN TEMPAT )

PALINGGE :
MENGAMBIL KORAN YANG DITINGGAL BORRA : IA LALU MEMBACA PUISI RENDRA, YANG TERDAPAT DALAM KORAN TSB.

*)Ratu adil itu tidak ada.
Ratu adil itu tipu daya !
Apa yang harus kita tegakkan bersama
adalah hukum Adil
Hukum adil adalah bintang pedoman di dalam prahara
Bau anyir darah yang kini memenuhi udara
menjadi saksi yang akan berkata :
Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat
apabila cukong-cokong sudah menjarah ekonomi bangsa
apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan
maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa
lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya.

(SEOLAH IA TUJUKAN KEPADA KAMASE YANG LAGI BERADA DI DALAM WARUNGNYA) Jadi kau jangan coba-coba menunggu ratu adil, sebab ratu adil adalah kekejaman yang penuh muslihat dan sungguh menjijikkan. (MENGHEMPASKAN KORAN ITU DAN MENINGGALKAN TEMPAT)



ADEGAN 4



BORRA :
Saudara mau kemana ?

PALINGGE :
Melanjutkan perjalanan, menyuisuri pematang.

DUMBA :
Untuk apa ?

PALINGGE :
(PERLAHAN KEMBALI  MENDEKATI DUM,BA DAN BORRA) Ia mesti mati malam ini juga !

DUMBA :
Siapa orangnya ?

PALINGGE  :
Apa saudara kenal dua pasang pengantin baru yang orang bilang tinggal dekat-dekat bukit ini ?

DUMBA :
Pengantin baru ?

PALINGGE :
Ya, pengantin baru.

BORRA :
Kalau yang saudara maksud pengantin baru adalah yang betul-betul baru kawin, artinya baru satu dua hari, maka saya rasa saya tidak kenal.
Tapi ada yang saya kenal, teman baik saya malah, sama-sama penggarap sawah dekat-dekat sini. Tapi mungkin bukan dia yang saudara maksud, sebab kawinnya sudah lama

PALINGGE :
Kenapa saudara tahu sudah lama ?

BORRA :
Karena perut isterinya sudah hampir ranum. Kelihatannya tinggal menunggu harinya.

PALINGGE :
Terima kasih. (MEMELUK BORRA)

DUMBA :
Kenapa terimakasih

PALINGGE :
Dialah orangnya

DUMBA :
Kenapa saudara pastikan

PALINGGE :
Memang dialah

BORRA :
Saudara ini apanya mereka ?

PALINGGE :
Lakinya, ipar saya. Isterinya adik kandung.

BORRA-DUMBA :
(MENYAMBUT GIRANG)  Oh.. selamatlah……….

PALINGGE :
Tapi yang tepat tinggal mereka dimana ?

BORRA :
Jalan saja menyusuri kaki bukit sana itu. Kemudian kalau ketemu mata air mancur dan pohon beringin besar, di sekitar itulah. Ada jalan setapak keatas bukit. Diatas sanalah rumah mereka.

PALINGGE :
Sekali lagi terima kasih. (PERGI DAN MENGHILANG DI TIKUNGAN)

DUMBA :
Hati-hati ! Pematangnya banyak lubang, banyak juga yang masih baru. Berlumpur !

BORRA :
Ternyata kakinya Daeng Palingge jauh lebih kokoh, dibanding dengan kakimu yang keseleo itu.

DUMBA :
Jaga mulutmu kalau bicara sebab biasanya gara-gara mulut,  pantat bisul jadi binasa.

BORRA :
Saya bisa membayangkan kalau kaki sekokoh itu berjalan diatas tanah yang becek. Ia, laksana dua batang besi menikam-nikam bumi. Dahsyat.

DUMBA :
Kita memang berbeda pandangan. Justeru pirasatku menaruh curiga kepada orang itu..

BORRA :
Curiga bagaimana ?  Bukankah tadi kau dan aku menyambut girang kepadanya ?

DUMBA :
Apa kau tidak ingat apa yang  diucapkannya ?

BORRA :
Yang mana itu ?

DUMBA :
(MENIRU  GAYA  PALINGGE) Ia mesti mati malam ini juga !

BORRA :
Kau ini. Curiga boleh tapi jangan menaruh buruk sangka yang bukan-bukan.

DUMBA :
Melihat sinar matanya laki-laki itu menyimpan dendam, sepertinya malam ini adalah malam yang sudah lama ditung-tunggu. Aku pasti kalau laki-laki yang bernama Palingge, itu adalah seorang yang berada dalam posisi Tumasiri’

BORRA :
Artinya adik kandung dan iparnya itu silaring ?  Anynyala, begitu ?

DUMBA :
Saya yakin teman baikmu itu  silariang dengan adik perempuannya Daeng Palingge, yang kini lagi mengandung. (BICARA SENDIRI) Perempuan. Sesungguhnya kau merupakan kembang di tengah halaman rumah. Wajah dari harga-diri dan kehormatan keluarga. Namun sayang, dikau justru menimbun hianat dalam rumah; minggat dengan laki-laki tak berhak.  Malam ini dendam akan bicara. Daeng Palingge.  Mengerikan.

BORRA :
Agrrh biasa. Seorang laki-laki kesuatu tujuan yang bernama harga diri memang harus direbut kembali dari orang yang telah merampasnya. Asal jangan menjadi pak Tulang.

DUMBA :
Semoga banjir darah tidak terjadi.

BORRA :
Mengapa mesti kau yang takut ?

DUMBA :
Sedikitpun saya tidak takut., tapi ujung-ujungnya kita ikut terseret di dalamnya.

BORRA :
Bagaimana mungkin ? Kau jangan menghayal yang bukan-bukan.

DUMBA :
Saya tidak menghayal, justeru hawatir karena kita yang kebetulan ronda malam ini. Polisi pasti melibatkan kita untuk menjadi saksi. Syukur-syukur kalau terhindar dari tuduhan bersekongkol

BORRA :
Itu kalau ada nyawa yang melayang, tapi kalau tidak ?

DUMBA :
Katakanlah tidak ada  nyawa yang melayang,  tetapi pasti kita tetap berurusan dengan  polisi karena adanya kerusuhan. Apa lagi kalau ada darah yang tumpah.

BORRA :
Kedengarannya kau begitu takut pada Polisi, padahal Polisi itu bukan kanibal, melainkan pelindung rakyat, Pengayom masyarakat.

DUMBA :
Pertanyaannya adalah: Mengapa Laki-laki seberang itu bisa mengetahui tempat tinggal teman baikmu itu, di tengah malam begini ?  Apa jawabmu ?!

BORRA :
Jawaban saya sederhana : Saya adalah si pantat bisul, yang tidak tahu apa-apa. Selesai !.

DUMBA :
Dan bisulmu yang bernanah itu akan diperas samapi berdarah-darah….Hah…ha…ha….
(KEDUANYA KEBALAI-BALAI …………………………)

PALINGGE :
(DI ATAS JALAN SETAPAK)  Mati ! Telah lama kutunggu malam ini (SEPERTI SANGAT LEGAH. IA KEMUDIAN BERPALING KEBELAKANG KEARAH GUBUK)  Terima kasih kawanku Paronda. (MELANJUTKAN LANGKAHNYA LEBIH
CEPAT. DI KANAN-KIRINYA SUARA KODOK DAN SUARA JENGKRIK BAGAI BUNYI MUSIK. IA MEMBELOK KEKIRI MENYUSURI  JALAN SETAPAK SAMPAI MENGHILANG DARI PANDANGAN)

BORRA :
Dilangit belum juga ada bintang Dumba.

DUMBA :
Sepertinya bintang-bintang itu adalah mata Bidadari yang terlalu suci untuk memandang semua ini.

BORRA :
Hmmmm…. Penyakit. Hayalan kembali meluncur dikegelapan malam.

DUMBA :
Langit dan bumi seperti mulut raksasa, hitam dan sepi

BORRA :
Hmmm… gawat

DUMBA :
Seperti betul sebuah usul yang tak terelakkan untuk suatu kematian.


ADEGAN 5


PALINGGE :
( MUNCUL DI TENGAH DERASNYA SUARA MATA IAR YANG MENGALIR. SEBUAH GUBUK TIDAK JAUH DIDEPANNY. NYALA LAMPU MINYAK DARI DALAM GUBUK MENYUSUP DISELURUH DINDING-DINDING BOLONG, MENGIRIS LEMAH KEPEKATAN MALAM. IA MENCARI SESUATU UNTUK MENGINTIP. TAMPAK SEORANG LELAKI MEMBIMBING WANITANYA KE ATAS BALAI-BALAI YANG TENGAH BERGUMUL DENGAN KESAKITAN. LELAKI ITU PAMPAK PENUH KEKHAWATIRAN, IA MEMIJIT KEPALA, BETIS DAN LENGAN-LENGAN    ISTERINYA. PALINGGE MENYAKSIKAN KEADAAN ITU, IA DI GIGIL OLEH DENDAM) Keduanya mesti mati malam ini !

IPAR :
(MEMBIMBING ISTERINYA DARI DALAM BILIK KESEBUAH BALAI-BALAI) Kupanggil dukun !
ADIK:
Jangan tinggalkan saya sendiri.

IPAR :
Anak kita mesti lahir selamat. Dan kau. Kau mesti selamat

ADIK :
Jangan. Aku takut sendiri.

IPAR :
(TUBUHNYA LEMAS, LONGSOR KESAMPING BALAI-BALAI)  Aku yang salah. Mestinya kau berada diantara keluargamu. Dan tidak disini, sendiri diatas bukit yang sepi.

ADIK :
Jangan bicara begitu (TERBANGKIT DARI KESAKITANNYA)  Ingat. Jangan ulangi ucapan semacam itu. Aku minta.

IPAR :
Tapi tidakkah memang demikian kenyataannya ?
Lihat betapa aku telah membenamkan engkau dalam kepedihan yang berketerusan. Kini pada saatnya dimana kesakitan yang kau alami mestinya kita rasakan berdua, telah eng
kau borong tanpa aku ikut serta di dalamnya. Sesungguhnya aku malu pada diriku sendiri.

ADIK :
(BANGKIT MERAPATKAN TUBUHNYA PADA SUAMINYA, MENANGIS, TAPI IAPUN TERSENYUM)  Tahukah engkau bahwa kebahagiaan tertinggi bagi wanita adalah ketika ia berada dalam kesakitan semacam ini. Aku telah dibekali kekuatan oleh ibuku ketika ia melahirkan adikku yang bungsu dan ini kudengar dibisikkannya kedalam telingaku. Engkau akan mengalaminya, dan pada saat itu akan engkau rasakan betapa bahagia itu beruntun-runtun datang di sela-sela kesakitanmu. Demikian ibu memesankan padaku.

PALINGGE :
(MELUDAH DAN BERKATA PADA DIRINYA)  Bahagia?  Kau merusak arti kebahagiaan seorang wanita dengan penghianatan yang takdapat diampunkan.

IPAR :
Aku panggil dukun. Kau dan anak kita mesti selamat

ADIK :
Dan kau sendiri ?

IPAR :
Kenapa aku ?
ADIK :
Keselamatanmu.

IPAR :
Kenapa bicara begitu ?

ADIK :
Entahlah. Tapi…. Tapi aku tidak mau pisah dengan kau. Aku malah tidak merasa bakal ada apa-apa dengan diriku dan anak kita. Tapi kau……. Oh..  (TERSEDUH)

IPAR :
(MENJAWAB PENUH KEKHAWATIRAN) Bagaimana tanpa dukun ?

ADIK :
Jangan pergi, aku merasa ada sesuau disaat kau akan melangkah keluar pintu itu. Aku…aku, oh  entahlah (KEMBALI BERGUMUL DENGAN KESAKITAN) Jangan pergi. Biar lahir tanpa siapa-siapa. Aku sanggup aku…..

IPAR :
Aku panggil dukun

ADIK :
Jangan !

IPAR :
Mesti !

ADIK :
Jangan !

IPAR :
Dukun. Mesti dukun.

ADIK :
Jangan !

IPAR :
Mesti………

ADIK :
Jangan…….

PALINGGE :
(SEJAK TADI MENGINTIP…….. SUATU PERGUMULAN BATIN MENGGEMURUH DI DALAM DADANYA. IA MERASA PERLU CEPAT BERTINDAK SEBE
LUM IA DIDAHULUI OLEH KESAKITAN YANG TELAH MENJANGKAU-JANGKAU NYAWA ADIK PEREMPUANNYA. IA TIDAK BERSEDIA KESAKITAN ITU YANG MEMBUNUHNYA TETAPI MESTI DENGAN TANGANNYA SENDIRI.)

IPAR :
Lihat engkau telah basah…………Anak kita sudah akan lahir. Aku mesti panggil dukun !
(MERONTAK MELEPASKAN PELUKAN ISTERINYA, UNTUK MEMANGGIL DUKUN. MELONCAT MENEROBOS PINTU)

PALINGGE :
(DENGAN TIDAK TERTAHANKAN KEDUA TANGANNYA MENERKAM LEHER BAJU LELAKI)
Kau jangan pergi. Aku yang akan memanggil dukun. (BERLARI  DAN BERLARI TERUS KEMBALI MENUJU  POS RONDA…………….)

IPAR :
Tuhan telah menolong kita isteriku.

ADIK :
Ya. Tuhanku Beri aku kekuatan.

IPAR :
Laki-laki sejati itu … Bagai malaikat penyelamat. Minta agar aku tidak meninggalkanmu. Semoga dukun akan datang secepatnya. Mari, aku bawa kau kedalam. (MEMBANGUNKAN ISTERINYA DARI BALAI-BALAI LALU MEMBIMBINGNYA MENUJU RUANGAN DALAM)



ADEGAN 6



BORRA
(MENDENGAR SESUATU) Siapa ?!

PALINGGE :
Soya

DUMBA :
Saya siapa !

PALINGGE :
Yang tadi

BORRA :
Cepat betul ? Ketemu tidak ?

PALINGGE :
Tolong, segera panggilkan dukun. Ia hampir melahirkan………... (BERMAKSUD UNTUK PERGI…….)

DUMBA :
Tunggu ! Biasanya kalau badik sudah bicara, ujudnya pasti kematian. Lantas kenapa mesti dukun ?

PALINGGE :
Telah kuma’afkan diriku sendiri saudara
Lompoi Sirikku, mingka lompoangngang tonji Pacceku !

DUMBA :
Kalau begitu jangan khawatir, Ibuku adalah dukun di kampung ini…. (MEMANGGIL DUKUN)

LAPALINGGE :
Terima kasih (PERGI BERLAWANAN ARAH DENGAN DUMBA)

BORRA :
Saudaraku  Palingge ! engkau telah menjinakkan malapetaka menjadi kemenangan !
(TERSENYUM SEORANG DIRI) 



(LAYAR TURUN)


SEKIAN


*Penggalan;  SAJAK BULAN MEI (dibacakan Oleh penciptanya: Rendra di DPR pada tanggal 18 Mei 1998 )
“ Langkah-Langkah Dalam Gerimis ” Karya : Rahman Arge, sengaja digarap menjadi naskah panggung berjudul :  “CINCONG-CINCONG DALAM GERIMIS”
Hal ini saya lakukan adalah atas usulan pak Arge ditengah hadirin pada ultah DKM ke 27 di Aula Benteng  Rotterdam
 Jl.. Ujung Pandang. Makassar

JACOB MARALA
Makassar 2 Desember 2008











Jumat, 25 Maret 2011

Short Play Perjuangan Muhammadiyah di Makale, buat saudaraku Ichsan Amar

                            


              
EKSEKUSI 
DAN 
KENISCAYAAN
                                    Jacob Marala
                                                  


TOKOH:
M U S A
ICHWAN
ANDI’ JEMMA (DATU LUWU)
 TUAN GURU MUDE (PAK MAHMUD)
LAI’ RINDING
LAI’ RANTE (MAMA MACAN)
KAPTEN BELANDA
LETNAN BELANDA
MATA-MATA
SERDADU (3)
SESEORANG
PRIBUMI (15)
EKSIKUTOR (3)
                                       _________________________________________

                                                        ADEGAN  I

                               PAGI HARI, DI HALAMAN MADRASAH MUHAMMADIYAH MAKALE BERLANGSUNG PENGIBARAN BENDERA MERAH PUTIH. DENGAN TIDAK DISANGKA-SANGKA TIBA-TIBA TERJADI INSIDEN BERDARAH YANG BERSUMBER DARI KALANGAN MASYARAKAT SETEMPAT. HAL INI ADALAH AKIBAT POLITIK ADU DOMBA PENJAJAH BELANDA YANG TIDAK MENGINGINKAN KEMERDEKAAN REPOBLIK INDONESIA.

ANDI JEMMA        :  (DATANG DARI LUWU, KETEMPAT PERISTIWA YANG MASIH BERKOBAR. DENGAN SUARA KERAS ANDI’ JEMMA, MENGHENTIKAN PERTIKAIAN) : Hentikan !  Pertikaian ini tidak ada gunanya dan sungguh patut disesalkan. Pandanglah aku, siapa aku sebenarnya. (ORANG TERHENYAK) Apa kalian masih mengenaliku ?

KEL. BERTIKAI    :  Maafkan kami. Andi’ Jemma Datu luwu.      

ANDI’ JEMMA      :  Sengaja aku datang di tempat ini. Di tengah-tengah kalian, tidak lain untuk
                                    menjelaskan kepada sebagian masyarakat Tanatoraya yang belum mengetahui dirinya sebagai Bangsa Indonesia yang bermatabat. (KEPADA SESEORANG) Kamu. Namamu siapa ?

SATOE                    :  Nama saya Satoe, Datu.
ANDI’ JEMMA      :  Dan kamu sendiri bangsa apa ?!

SATOE                    :  Saya sekeluarga, Bangsa Indonesia Datu

SEMUA KELP.       :  (PEKIK BERSAMA) Kami semua bangsa Indonesia.

ANDI’ JEMMA      :  Kalau ucapan kalian itu benar, mengapa mesti ada darah yang mengalir, ketika pengibaran bendera Merah Putih, di halaman Madrasah ini ? Bukankan merah putih adalah bendera kebangsaan kita?

SATOE                    :  Ada yang bilang, merah putih adalah bendera musuh, Datu.

ANDI’ JEMMA      :  Kalian jangan sekali-kali termakan oleh politik adu domba. Politik pemecah belah yang dihembuskan oleh penjajah Belanda dan kawan-kawannya. Kita Bangsa Indonesia jangan mau terpengaruh oleh hasutan dari manapun datangnya

SEMUA KELOP.    :  (MEMEKIK)  Merdeka ! Merah Putih. Merdeka Bangsaku Indonesia ! (ANDI’ JEMMA BERSAMA MASYARAKAT MENINGGALKAN TEMPAT KECUALI KELOMPOK MADRASAH TETAP TINGGAL MELANJUTKAN AKTIVITASNYA. 

                                                                       ADENGAN II
                         
                                    LONCENG MADRASAH MENDENTANG TANDA BERKUMPUL  PARA SISWA DAN SEGENAP ELEMEN MUHAMMADIYAH. TAMPAK HADIR AKTIVIS LAI’ RANTE, LAI’ RINDING (MAMA MACAN)

LAI’ RINDING      :  Assalamu’ alaikum Warahmatullah. Sambil menantikan kehadiran Tuan Guru Mude’ kami undang Mama Macam…

LAI’ RANTE          :  (TAMPIL MEMBAWAKAN PUISI :  Amut Machmud) (diSterilkan)
                                    Tuhanku
                                     Begitu jauh tapi tersa
                                     Kutatap bayang wajahMu
                                     Rinduku membara
                                     Kami bersujud hari ini
                                     Karena menyadari
                                     Tanpa suatu landasan cinta sia-sia
                                     Dan tiadalah Engkau berkahi hati yang ragu
                                     Dalam pada itu
                                     Cahaya yang telah Engkau limpahkan
                                     Di tangan rasulMu yang penghabisan
                                     Kumohonkan
                                     Memberi warna pada hidup kami selalu.
                                    (DI TENGAH RIUH RENDAH TEPUK TANGAN HADIRIN, PAK MAHMUD PUN HADIR DI ATAS MIMBAR……..

PAK MAHMUD     : Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

HADIRIN               : Waalaikummussalam Warahmatullahi Wabarakatuh.

PAK MAHMUD     :  Alhamdulillah. Pada hari ini kita telah menginjakkan kaki di tahun                     1946. Berarti Muhammadiyah di Tana Toraya genap berumur  11 tahun.  Ini adalah rahmat Allah Subuhana Wata’ala.
                                    Mengapa saya berkata demikian, adalah karena untuk hidup satu hari saja di tengah desingan peluru amatlah susahnya. Tetapi di sinilah letak keyakinan kita, di mana Muhammadiyah harus hadir dan bangkit di Tana Toraya, bukan kerena  menghitung-hitung untung atau rugi, hidup atau mati, tapi justru Muhammadiyah hadir untuk satu keniscayaan, keniscayaan demi kemaslahatan bangsa dan negara Republik Indonesia tercinta. (APLAUS HADIRIN).
                                    Lihatlah madrasah kita ini, madrasah yang dibangun dan berdiri di tengah amukan prahara di tahun 1936, sepuluh tahun lalu; betapapun sederhananya, tapi ini adalah salah satu bukti keniscayaan itu. Sebab dengan madrasah, anak-anak kita, Insya Allah, akan beroleh ilmu pengetahuan. Dan dengan ilmu pengetahuan itu, Insya Allah, kita mampu mengejar ketertinggalan.
                                    Saudara-saudara percayalah, di mana penderitaan bercokol, di situ Muhammadiyah tampil paling depan! Muhammadiyah bukanlah organisasi politik, melainkan organisasi massa, kumpulan orang ikhlas untuk membela kebenaran, dan melawan kebathilan. (APLAUS HADIRIN).
                                    Wahai rakyat Toraya, bangkitlah memerangi kedzaliman yang bernama penjajahan yang menyengsarakan rakyat negeri ini. Mereka, Belanda, harus diusir, harus dilenyapkan, harus dibumihanguskan. Harus sirna sesirna-sirnanya. (PEKIK SORAK HADIRIN) 
                                    Allah Subuhana Wata’ala berfirma: Innallaha la yugayyiru ma bikaumin, hatta yugayyiru ma bianfusihim. Sesungguhnya Tuhan tak akan mengubah nasib suatu kaum, kalau bukan kaum itu sendiri yang mengubahnya. Karena itu wahai saudara-saudara segenap pemuda, segenap pemuda Muhammadiyah, pandu Hizbul Wathan, Nasyiatul Aisyiyah, tidak terkecuali segenap siswa madrasah kita, kalian adalah harapan bangsa yang tidak diragukan. Mari kita meneruskan cita-cita pendahulu kita, cita-cita Kyai Haji Ahmad Dahlan, pendiri organisasi kita ini.  Jadilah Rahmat di muka bumi Toraya. Kalian, kita, semua, adalah pewarta gembira bagi negeri ini, bangsa ini, bangsa Indonesia, bangsa yang niscaya akan Merdeka! Merdeka untuk selama-lamanya. (DISAMBUT DENGAN SUARA GEMURUH). (BERSAMAAN PEKIK MERDEKA ITU, BUNYI TEMBAKAN TERDENGAR GENCAR DARI SEGALA ARAH. PAK MAHMUD MEMERINTAHKAN KEPADA AGAR SEGERA MENINGGALKAN LOKASI) Selamatkan diri kalian semua.

LAI’ RINDING      :  Bapak sendiri bagaimana ?

PAK MAHMUD     :  Saya tetap bertahan disini.

LAI’ RANTE          :  Bapak tidak berhak mengorbankan nyawa bapak. Bapak harus hidup.

PAK PAHMUD      :  Ayo. Cepat tinggalkan tempat ini.

LAI’ RANTE          :  Tidak. Bapak harus ikut klami.

LAI’ RINDING    : Jiwa raga bapak, bukan lagi milik pak Mahmud. Tapi milik perjuangan           Bangsa Indonesia. (DENGAN TERPAKSA PAK MAHMUD DIGIRING OLEH HADIRIN UNTUK MENINGGALAKAN TEMPAT.)


ADEGAN III

TENTARA BELANDA YANG MENYERBU, TAK MENEMUKAN SATU ORANG PUN KECUALI SEBUAH MAP YANG BERISIKAN DOKUMEN
YANG DPUNGUT OLEH MATA-MATA BELANDA.

LET. BELANDA    : Gofferdomme zeg. Mereka seperti setan, hilang tidak punya bekas.

MATA-MATA       : Meneir. Ini. (BERLARI MENYERAHKAN MAP DOKUMEN YANG DIPUNGUT).

KAP. BELANDA   : Goede viriend. (KEPADA LETNAN) Luitenant. Prober lezen.                       Letnan, baca!

LET. BELANDA    :  Siap, Kapitein. Kawan-kawan seperjuangan. Jangan takut kepada si penjajah Belanda. Sekarang kita sudah menjadi lebih kuat. Beberapa pucuk senjata beserta pelurunya, telah kita rampas dari tangan musuh. Karenanya kita harus bertemu di tempat yang sudah kita rencanakan untuk menghancurkan si penjajah Belanda. Salam hormat kami kepada Tuan Guru. Merdeka !  (MARAH).  Gofferdomme seg. Kapitein, hun schandalige. Mereka keterlaluan.

KAP. BELANDA   : Ya, Ze zijn schandalige. (KEPADA MATA-MATA) Hei, Solaku. Koe adalah penduduk asli di sini. Selain Musa end Ichsan yang sudah kita tangkap, kira-kira, siapa lagi orang yang berpengaruh besar di daerah ini.

MATA-MATA        : Yang saya dengar adalah seorang guru madrasah tuan, orang itu bernama Mahmud, biasa dipanggil Tuan Guru Mude.

KAP. BELANDA   : (MEMINTA MAP DARI TANGAN LETNAN, LALU MENYEBUT-KAN NAMA YANG TERTERA PADA LEMBAR DOKUMEN LAINNYA). Selain Tuan Guru Mude (SAMBIL MELIHAT NAMA-NAMA DALAM DOKUMEN), apa orang yang bernama Yakop Kidingallo juga berpengaruh ?

MATA-MATA        : Tidak, Tuan. Kidingallo, tidak terlalu berpengaruh tapi cukup berbahaya. orang itu selalu berpindah-pindah tempat. Sangat susah untuk ditangkap.

KAP. BELANDA   : En orang yang yang bernama Sesa Darwin? (MENCECAR):                    Kala Danduru,  Bandera,  Zainuddin Bokko,  Ujang,  Anton Payung, Lawaru,  dan Paibing Makkawaru, bagaimana menurutmu ?

MATA-MATA        : Tuan. Paibing Makkawaru, sama sekali tidak punya pengaruh, ia itu masih anak kecil.

KAP. BELANDA   : Gofferdomme seg. Koe punya otak terlalu picik. Orang kecil itu yang berbahaya tolol. Apa koe tidak lihat itu Musa ? Orangnya berbadan kecil tapi nyawa bangasamu sudah banyak ia cabut.

MATA-MATA        : Tapi tuan, Paibing Makkawaru betul-betul masih ingusan tuan.

LET. BELANDA    : Ghofferdori. Koe ini sungguh tidak faham, yang mana kawan en yang mana lawan.

KAP. BELANDA   : Al saai. Vervelendste. Sudah, membosankan. Membosankan. Prajurit! (MEMANGGIL PRAJURITNYA). Tangkap penduduk di kampung ini sebanyak-banyaknya.

PARA SERDADU  : Siaaap! (3 ORANG SERDADU BERLARI MELINTAS DI ATAS PANGGUNG SECARA TERATUR SAMBIL BERSERU : One. Twee. Drie…

KAP. BELANDA   : Luitenant !

LET. BELANDA    : Ya, Kapitein !

KAP. BELANDA   : Tanya mereka satu-persatu, di mana Tuan Guru Mahmud bersembunyi.

LET. BELANDA    : Mereka jangan diberi ampun, Kapitein!

KAP. BELANDA   : Het uitvoeren van uw taken. Laksanakan tugasmu. (EXIT BERSAMA SANG MATA-MATA).


ADEGAN IV
PENDUDUK KAMPUNG YANG TAK BERDOSA DIGIRING MASUK
OLEH SERDADU BELANDA

LET. BELANDA    : Kalian dengarkan ! Kamu semua dikumpul di sini untuk membantu pemerintah Belanda, menangkap orang yang bernama Mr. Mahmud. Kalian faham ? (PARA TAWANAN DIAM KETAKUTAN) Tuan guru Mahmud itu pemberontak. Ia adalah anggota Muhammadiyah sekaligus seorang guru madrasah di Makale yang sangat berbahaya. Menurut mata-mata kami, Mr. Mahmud baru saja membakar semangat Pemuda-Pemuda di tempat ini, untuk mengadakan perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda. Nah sekarang jawab, di mana itu Tuan Guru Mahmud bersembunyi.

PRIBUMI  I            : Saya tidak tahu Tuan.

PRIBUMI  II           : Ya. Saya juga tidak tahu tuan.

PARA PRIBUMI    : (SEREMPAK) Kami semua tidak tahu Tuan.

LET. BELANDA    : Diam !  Kalian harus tahu. Jangan coba-caba bikin aku naik pitam.

PRIBUMI  III         : (BERBAHASA SETEMPAT) Yang kami ketahui, adalah tuan guru Mude.

LET. BELANDA    : Ghofferdomme zeg. Koe bilang apa, kita orang tidak mengerti. (KEPADA SERDADU) Dia bilang apa orang itu ?

SERDADU I                : Katanya ia tadak tahu Tuan Guru Mahmud. Yang ia tahu adalah Tuan Guru Mude.

LET. BELANDA         : Hmm… Tuang guru Mude…. (TERTAWA) Dasar tolol. Goblog. Mahmud, Mude, serupa dan senyawa bangsat !  Di mana dia sekarang ? Di mana rumahnya. Di mana ia bersembunyi. Bilang. Katakan !

PRIBUMI  III              : (BERBAHASA SETEMPAT) Saya tidak mau mati tuan.

LET. BELANDA         : (KEPADA SERDADU I). Apa katanya ?

SERDADU I                : Katanya, ia tidak mau mati tuan.

LET. BELANDA         : (BERANG) Semuanya akan saya tembak sampai mati kalau kamu orang tidak mau mengatakan di mana Tuan Guru Mahmud bersembunyi. (MENGANCAM DENGAN PISTOL. PARA PENDUDUK KAMPUNG MEMELUK KAKI SANG LETNAN DENGAN BERBAGAI PERMOHONAN).

PARA PRIBUMI        : Jangan tembak tuan. Saya tidak bersalah tuan.  Saya tidak mau mati tuan. Tolong beri kami kesempatan.                                                                        
                                         (LETNAN BELANDA YANG TERLANJUR MENGELUARKAN PISTOL MELEPASKAN TEMBAKAN BERKALI-KALI KE UDARA. BERSAMAAN DENGAN SITUASI YANG MENE-GANGKAN, PARA PENDUDUK KAMPUNG BERHAMBURAN MENYELAMATKAN DIRI).

ADEGAN V

KAPTEN BELANDA MUNCUL DENGAN MATA-MATA BERSAMA SESORANG MEMBAWA 2  TAWANAN DENGAN KEADAAN TERBELENGGU: MUSA DAN IKHWAN.

KAP. BELANDA        : Luitenant, ada pekerjaan penting hari ini.

LET, BELANDA         : Ya, Kapitein.

KAP. BELANDA        : Kedua pengkhianat ini, oleh pengadilan pemerintah Belanda telah dijatuhi hukuman mati. Apa boleh buat, kita terpaksa mengeksekusi kawan kita: Musa dan Ikhwan.
                                         (MEMBUKA DAFTAR NAMA YANG TERSIMPAN DALAM MAP)                            Adapun yang lainnya seperti : Mallabbang, Makkawaru, Pandu HW,           La Wahe Tarsan Kaluku, Pandu HW, Muhammad Kamase, pandu HW, dan Hasan Dudung, pedagang, diasingkan.

LET. BELANDA         : (TERTAWA) Sangat menyenangkan, Kapitein, dan itu adalah pemandangan yang indah bagi orang-orang yang ingin melawan pemerintah Hindi Belanda.

KAP. BELANDA        : Ya, ya. Aku tahu kalau kau dan aku merasa nikmat apabila  melihat ada otak terbongkar dari tengkorak kepala. (MEREKA TERTAWA BERSAMA).

LET. BELANDA         : Bersama kentalnya darah merah yang membasahi sekujur tubuh……

KAP. BELANDA        : Musa, apa koe sudah berdoa, hm ?

MUSA                          : Kalian adalah mesin-mesin pembunuh, yang tidak berperikemanusiaan. Tapi kalian tak akan pernah mengalahkan semangat juang bangsaku.

KAP. BELANDA        : Bajingan! Sudah mau mati, masih pintar berkata-kata.

MUSA                          : Kata-kataku memang lebih tajam daripada peluru Belanda.

LET. BELANDA         : Koe ini betul-betul pemberani. Apa kau mengerti bahwa setelah peluru senjata itu menembus kepalamu, tidak ada lagi apa-apa yang kau temukan dalam keheningan yang kelam?

MUSA                          : Aku tidak mampu melihat Tuhanku, tetapi aku bersyukur kepada-Nya lantaran aku mampu menjalankan kehendak-Nya.

KAP. BELANDA        : Kita lihat nanti. (MEMBERI ISYARAT DENGAN MENGANGKAT TANGAN SAMBIL MENGGERAKKAN JARI TELUNJUKNYA).

LET. BELANDA         : Pengawal! Tutup matanya. Sungkup kepalanya. (MATA MUSA DITUTUP DENGAN IKATAN KAIN PUTIH, LALU DISUNGKUP DENGAN KAIN HITAM). Bawa ke tiang eksekusi ! (MUSA DIBIMBING KE TIANG EKSEKUSI SEBELAH KIRI PANGGUNG).

KAP. BELANDA        : Luitenant.

LET. BELANDA         : Siap Kapitein. (MENDEKATKAN TELINGANYA KE MULUT KAPTEN)

KAP. BELANDA        : Segera laksanakan Luitenant.

LET. BELANDA         : (KEPADA SESEORANG#) Umumkan kepada semua orang di pasar kalau sekarang ini, 2 orang pemberontak akan ditembak mati karena melawan pemerintah Hindia Belanda. Cepat, laksanakan.

SESEORANG             : (BERLARI KESEGENAP PENJURU PASAR MENGUMANDANG-KAN PENGUMUMAN DENGAN BAHASA DAERAH TANAH-TORAJA).
                                         Perhatian-perhatian diumumkan kepada siapa saja yang berada di pasar, supaya datang ke lapangan untuk menyaksikan 2 orang yang akan dihukum mati, karena melawan pemerintah Hindia-Belanda.
                                         (SEMENTARA PENGUMUMAN BERLANGSUNG, TERHUKUM  ICHWAN PUN DIPERLAKUKAN SEPERTI MUSA…….

LET. BELANDA         :  Tinggal hitungan menit, masamu akan berakhir kawan Ichwan, dan tak adalagi orang yang berani melawan, apalagi merampas kita punya senjata.
  
ICHWAN                     : Ruang dan waktu tak akan pernah berhenti. Dan pasti kau akan di gilasnya. (MELUDAHI TUBUH BELANDA.)

LET. BELANDA         :  Tutup mulutmu bajingan ! Gofferdomme.  
                                         ICHWAN DISERET KE TEMPAT EKSEKUSI YANG BERLAWANAN DARI PAMANNYA, MUSA. SUARA HIRUK PIKUK MULAI KEDENGARAN, KIAN LAMA KIAN RAMAI NAMUN TIDAK SERAMAI DENGAN SUASANA GEMBIRA TAPI LAKSANA GUMAM SAKRAL MEMENUHI ALAM RAYA).

KAP. BELANDA        : Tenang. Tenang.    
                                         (SUARA PERLAHAN MELEMAH DAN BERANGSUR JADI HENING). Regu tembak, siaaaap.  (PARA EKSEKUTOR SEGERA MENGARAHKAN SASARAN KE TUBUH IKHWAN)………… Tembaaaak !  (PELURU PUN MENYERBU KE TUBUH KESUMA BANGSA, “ICHWAN”).
 
KAP. BELANDA        : (TEPUK TANGAN MENYAKSIKAN KEAHLIAN EKSEKU-TORNYA)   Selanjutnya !

LET. BELANDA         : Lanjutkaaan !  (PARA EKSEKUTOR DENGAN SIGAP MENGATUR POSISI KE ARAH “MUSA”) Regu tembak !

EKSIKUTOR              : (BERSAMAAN) Siap !

LET. BELANDA         : Tembaaak ! (PELURU LARAS PANJANG MELESAT MENEMUI SASARAN. ANEHNYA SANG KAPTEIN MENGURUNGKAN NIATNYA BERTEPUK TANGAN LANTARAN TERNYATA “MUSA” MASIH TETAP MENGGERAKKAN BADANNYA. MELIHAT SITUASI YANG KURANG MEMUASKAN ITU, SANG KAPTEN MENCABUT PISTOLNYA LALU MENDEKAT KE TUBUH MUSA.

KAP. BELANDA        : Luitenant, sungguh mengharukan. Di saat maut menjemputnya ia masih bercanda. (TERTAWA. ANTARA JIDAT DENGAN UJUNG PISTOL HANYA BERJARAK LEBIH KURANG SETENGAH JENGKAL, LANGSUNG MELAHAP MANGSANYA….. Dor Dor Dor. (MUSA PUN MENGHEMBUSKAN NAFAS TERAKHIRNYA)


PAK MAHMUD         : Cukup !.............  Biadab !................. Banjir darah dan sungai derita telah kalian ciptakan di negri kami. Tapi kenapa kalian belum juga sadar. Kalau gelombang semangat kami yang  menyala-nyala, takkan bisa kalian padamkan.  Tuan-tuan bisa menghancurkan tubuh kami, tapi tuan-tuan tidak akan bisa mengalahkan kami. Hari ini 2 nyawa anak negri kalian lenyapkan, tetapi detik ini juga 20 nyawa akan tumbuh, bahkan berjuta-juta nyawa akan lahir di negeri ini, negeri Tana Toraya ini, akan bangkit dan niscaya  melawan kezaliman kalian… Belanda-Belanda biadab…  
                                         (GEMURUH GUMAM SAKRAL MEMENUHI ANGKASA. KAUM PEJUANG TERUS MAJU MENDESAK PARA PENINDAS HINGGA EKSIT DARI PANGGUNG.)   


                                                                                                             Makassar 1 Februari  2011
                                                                                                                                                                         
                                                                                                                                                                                                                                              

                                                                                                   
Kaptein : Dreeiter
Luitenant : Vrainkel